Rabu, 04 Januari 2012

DOMEIN VERKLARING dan PEMBERIAN HAK ATAS TANAH YANG MENYIMPANG

0leh: Adi Waskita

Telah kita ketahui bersama bagaimana sejarah lahirnya landasan hukum agraria nasional termasuk sejarah dari terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Salah satu point penting dari UUPA adalah mencabut “Domein Verklaring” yang merupakan pelaksanan dari hukum agraria pada masa penjajahan Belanda yang biasa disebut “Agrarische Wet” (Staatsblad 1870 No. 55). Pernyataan dari “Domein Verklaring” itu berbunyi :
Semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikannya, bahwa itu eigendomnya adalah domein atau milik Negara.”
Pernyataan tersebut dapat dikatakan sangat tidak menghargai bahkan “memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat. karena hak-hak rakyat atas tanah yang sudah turun temurun akan tetapi tidak dapat dibuktikan eigendomnya dianggap domein atau milik negara.
Dengan lahirnya UUPA maka seharusnya “Domein Verklaring” harus benar-benar dihapuskan, akan tetapi apakah dalam penerapannya hal-hal tersebut sudah benar-benar dilaksakan dengan baik? Jika dilihat lebih mendalam terdapat  celah-celah yang sering tidak kita sadari bahwa asas “Domein Verklaring” ini masih sering terjadi di beberapa kasus pendaftaran tanah di Indonesia, namun karena hal ini tidak disadari maka seringkali hanya dianggap sebagai masalah klasik, atau bahkan justru lebih dianggap mempermudah pelaksanaan percepatan pendaftaran tanah di Negara kita ini.
Apa yang menarik bagi penulis sebagaimana judul dari tulisan ini adalah adanya keterkaitan antara “Domein Verklaring” dengan Pemberian hak atas tanah yang menyimpang dalam proses pendaftaran tanah. Penulis menyebutkan pemberian hak atas tanah “yang menyimpang” karena seringkali tidak sesuai dengan kenyataannya. Dalam pendaftaran tanah terdapat dua jenis cara dalam pembuktian hak, yaitu pemberian hak atas tanah dan konversi hak-hak lama. Dalam pemberian hak atas tanah yang menjadi objek pendaftaran tanah adalah tanah negara yang dimohonkan haknya. Dalam konversi terdapat tiga tingkatan pendaftaran, yang pertama adalah konversi hak-hak lama dengan alat bukti yang lengkap, yang dua adalah penegasan hak dengan alat bukti yang kurang lengkap dan yang ketiga adalah pengakuan hak untuk objek yang tidak memiliki alat bukati sama sekali.
Dari penjelasan diatas sudah dapat ditemukan dimana letak penyimpangan pemberian hak atas tanah tersebut. Dalam menguasai tanah secara turun temurun seringkali pemilik tanah tidak mempunyai alat bukti sama sekali, dengan demikian alternatif pendaftaran tanah manakah yang dapat dilakukan untuk penguasaan tanah seperti itu? Jika tanah yang dikuasai tersebut merupakan tanah negara (harus lebih dipelajari lagi penjabaran dari tanah negara tersebut) maka proses yang dilakukan adalah pemberian hak atas tanah oleh negara. Akan tetapi penguasaan diatas tanah tersebut sudah turun temurun dan dalam jangka waktu yang cukup lama (lebih dari 30 tahun) dan tidak dapat dibuktikan bahwa tanah tersebut adalah tanah negara, maka proses yang seharusnya dilakukan dalam pendaftaran tanahnya adalah pengakuan hak. Permasalahannya apakah sudah benar seperti itu penerapannya?
Di beberapa daerah atau dalam suatu lingkup tata kerja kantor pertanahan (termasuk daerah tempat penulis bekerja), pendaftaran tanah seluruhnya dilakukan secara pemberian hak, tanpa melihat asal-usul tanah tersebut. Dengan  demikian dapat dikatakan bahwa tanah di seluruh daerah terebut merupakan tanah negara. Banyak alasan yang menjadi dasar dari penerapan pemberian hak atas tanah tersebut, salah satu diantaranya adalah kemudahan. Akan tetapi dampak buruk yang ditimbulkan lebih banyak dan tentunya sangat  memberatkan rakyat, diataranya adalah dikenakakannya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Namun yang lebih miris lagi adalah tidak diakuinya hak-hak rakyat atas tanah yang secara turun temurun dan sudah berpuluh-puluh tahun.
Apakah hal tersebut diatas memiliki perbedaan dengan “memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah? Jawabannya adalah “ya”, bedanya kalau dulu rakyat dijajah oleh bangsa asing, tapi kalau sekarang rakyat dijajah oleh bangsa sendiri.
Penulis cuma pengen share aja ke pembaca sekalian, mudah-mudahan hal itu bisa menjadi bahan masukan untuk kedepannya, demi kemajuan dibidang pertanahan dan demi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar